Sabtu, 06 Januari 2018

Mengusik Soal Fisik

Bagi sebagian orang, fisik menjadi bagian yang begitu sensitif untuk diperbincangkan. Banyak orang yang merasa minder jika berada pada lingkungan yang mengukur status sosial dari tingkat kecantikan. Tidak jarang rasa tidak suka dimunculkan dalam suatu perbincangan yang sedang membandingkan tinggi rendahnya hidung, tirus mengembangnya pipi dan bentuk badan yang kurang proporsional.

Dan aku menjadi salah satu individu yang kurang menyukai hal tersebut. Apalagi bagi orang yang setiap hari berada dalam satu atap dan intensitas bertemu sangat tinggi. Kenapa juga harus dipermasalahkan? Jika sudah bawaannya seperti itu mau bagaimana lagi. 

Manusia tidak bisa mengubah fisik 100% menjadi sempurna. Paling tidak hanya bisa menyamarkan dan memperbaiki. Sehingga jika terus menerus mempermasalahkan fisik, apa kita tidak mensyukuri hasil ciptaan makhluk hidup. Daripada yang diurusi terus menerus hanya masalah perut buncit dan suara yang volumenya uncontroll, apa tidak lebih baik mengomentari masalah moral yang lebih urgen untuk karir ke depannya. 
 
Jika ada orang di sekitar saya yang memberikan masukan berkaitan dengan moral, justru saya sangat senang sekali. Karena ada orang yang menginginkan diri ini untuk berubah lebih baik. Tetapi jika yang diurusi tidak jauh-jauh dari bentuk tubuh, ini yang sedikit mengganggu pendengaran. Sebegitu perhatiannya kah dengan diri orang lain daripada dirinya sendiri.

Belajar Menerima Belajar Berlapang Dada



Jika digambarkan 2017 bagiku ibarat minum kopi campur makan rujak. Semua rasa ada. Asem manis pedas segar bahkan pahitnya karena kopi juga terasa. Ya begitulah dengan pengalaman rasa selama 365 hari yang kulalui. Begitu kompleks.

Banyak rasa banyak suka duka. Kebermaknaan, kebahagiaan, kepuasan bahkan kehilangan sesuatu yang berharga hingga rasa kecewa sekalipun itu ada. Tahun ini aku mendapat beberapa tanggung jawab yang cukup berat tapi di saat yang sama aku pun merasakan kehilangan yang cukup mendalam.

Satu hal yang aku maknai dari tahun ini adalah bagaimana aku bisa belajar menerima. Ya belajar menerima. Belajar berdamai dengan ego kita. Belajar mendewasa mencoba bermetamorfosa. Kita hidup di dunia nyata, bukan dunia cinderella yang semua berjalan dengan sempurna.

Belajar menerima itu gampang-gampang susah. Kita bukan pasrah dengan keadaan, tapi justru kita mencoba memaknai konsekuensi yang telah kita pilih. Seringkali emosi membuat pikiran menjadi tidak jernih. Kuncinya berlapang dada. Kita perlu membuka jendela pikiran kita bahwa dari banyak yang diinginkan tak semuanya bisa berbuah manis.

Perlahan aku tersadar bahwa tak selamanya bisa menggenggam apa yang sebelumnya telah kuraih. Namun setidaknya aku kembali berusaha bangkit merajut mimpi-mimpiku.  Aku pun tidak lupa bahwa masih banyak kekurangan diri yang perlu diperbaiki. Bukan terus menerus menyalahkan lingkungan karena ketidakidealan. Bukan juga berlarut dalam kesedihan.

Lihatlah pencapaianmu yang lain, yang telah berbuah manis. Hargai atas segala usahamu selama ini untuk bisa selangkah lebih maju dari orang di sekitarmu. Berikan apresiasi terhadap diri sendiri. Itu penting sekali. Aku bersyukur masih berada di lingkungan organisasi, masih banyak kesempatan berkontribusi.  Dan aku pun sangat bersyukur tahun ini aku dikelilingi oleh sahabat-sahabat terbaik. Yang hadir memberikan energi positif setiap hari. Bukan hanya datang kemudian pergi.

Terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dan menciptakan pengalaman rasa di 2017. Jika kita terus mengejar kesempurnaan, sampai kapan kita akan berhenti? Karena sejatinya kesempurnaan hanya milik Yang Maha Sempurna. Jika kita mengharap semuanya sesuai rencana, maka sampai kapan kita akan belajar menerima belajar berlapang dada.

Kondusif dan Produktif

Beberapa hari belakangan ini, mood mudah sekali naik turun. Entah karena mungkin kondisi lingkungan yang mungkin membuatku tak nyaman. Ya tak nyaman bagiku yang membutuhkan suasana untuk berpikir tingkat tinggi dalam kondisi tenang.


Awalnya sudah mengumpulkan niat untuk menuntaskan segala tanggung jawab yang ada. Olahraga, mandi dan makan sudah selesai tepat waktu. Itu artinya sudah waktunya untuk menatap layar laptop. Berharap bisa duduk di kursi kesayangan dengan menikmati prosesnya senyaman mungkin. Namun ketika memasuki sebuah ruangan, ternyata kudapati mereka yang sedang asyik menikmati masa-masa santainya (mungkin). Niat awal perlahan memudar. 


Suasana gaduh, obrolan yang tak terarah juntrungannya apalagi ditambah suara tawa yang begitu menggelegar, jelas sangat amat mengganggu mood dan jalan pikiranku. Ide seperti berhenti pada jalan buntu. Tak kunjung menemukan titik terang jalan keluar. Mood yang semula tertata rapi berubah agak 

Mungkin bagi sebagian orang bisa mengatasi dengan menyumpel telinganya. Tapi bagiku itu tak sepenuhnya efektif. Mengganggu kualitas produktif. Butuh kekondusifan secara menyeluruh. Satu orang diam tetapi ketika empat, lima orang gaduh tentu yang banyak itu akan mendominasi pembentukan suasana hati.

Daripada aku ikut memperkeruh suasana, lebih baik aku diam. Aku memilih menarik nafas dalam-dalam. Diam dan memikirkan. Sepertinya ini bukan lagi problem komunikasi melainkan persoalan empati.

Aku menyadari lingkungan yang kondusif sesuai gaya belajarnya masing-masing akan membuat kinerja belajar semakin produktif. Dan untuk menciptakan suasana nyaman pun butuh empati dari semua pihak. Aku juga tidak bisa menyalahkan lingkungan sepenuhnya.

Sebaiknya jangan hanya bisa marah ketika kepentinganmu terusik. Tapi coba pikirkan apakah kamu selama ini tidak pernah mengusik kepentingan orang di sekitarmu. Mungkin rasanya akan sama.  

Senin, 06 Februari 2017

THE POWER OF INTEGRITY




Integritas merupakan prasyarat utama yang menentukan sukses atau gagalnya sebuah karir. Seringkali masalah kegagalan karir bukan karena individu tersebut minim prestasi ataupun tidak memiliki segudang pengalaman dalam bidang yang digeluti, melainkan rendahnya integritaslah yang menjadi penyebab. Realitas membuktikan sepintar apapun diri kita, tidak mungkin bernilai seandainya ditempuh dengan menghalalkan segala cara. Meskipun cerdas tetapi memiliki rekam jejak pernah melakukan plagiasi, maka jangan heran ketika banyak hambatan kepercayaan di lapangan karir nanti. Dan fakta berbicara sehebat apapun karya dan setinggi apapun jabatan yang telah dicapai, masa depannya pasti hancur jika diwarnai aksi korupsi. Begitupun dengan seorang pendakwah, kesuksesannya akan tertunda jika pesan yang disampaikan justru bermuatan provokasi. Fenomena di atas itu hanyalah sebuah gejala yang nampak dari awal kehancuran karir. Sesungguhnya akar permasalahannya bersumber pada integritas.
Penyebab utama dari realitas yang menggambarkan krisis integritas—yang bisa berakibat fatal terhadap karir—karena ada pandangan bahwa keberhasilan karir hanya ditentukan dari segi kompetensi dan kecerdasan akademik belaka. Tanpa melihat lebih jauh bahwa integritas begitu berharga. Akibatnya mereka mengenyampingkan unsur kejujuran dan kebenaran dalam mengambil keputusan. Selain itu, berkembang paradigma bahwa yang perlu membangun integritas hanyalah pemimpin. Di luar jabatan itu ditafsirkan bebas berperilaku apa saja, sekalipun menyimpang. Padahal pentingnya integritas tidak terikat dengan jabatan. Dan terakhir, ingin “instan” dalam mencapai target keberhasilan. Segala langkah ditempuhnya yang perlahan justru menghancurkan reputasinya.
Harapannya pemahaman kita bisa utuh terkait apa itu integritas dan bagaimana cara membangunnya serta menyadari betapa bernilainya sebuah integritas.
Integritas berasal dari bahasa Latin “integer” yang berarti utuh atau lengkap. Menurut KBBI, integritas didefinisikan sebagai sebuah mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran. Berdasarkan pendekatan teori perkembangan moral kognitif (Kohlberg, 1984), integritas dimaknai sebagai loyalitas kepada prinsip dan nilai moral universal. Sedangkan lawan dari istilah integritas adalah hipocrisy (hipokrit atau munafik).
Sederhananya, ketika berbicara tentang integritas berarti berbicara tentang konsistensi yang utuh antara apa yang dia yakini dengan tindakan yang tercermin sehari-hari. Tapi nyatanya, menjaga keselarasan hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Itu merupakan soft skill tersendiri yang bisa membentuk kualitas diri positif seseorang dan membantu menjalani hidup yang lebih positif, mampu dipercaya dan konsisten.
Kita bisa lihat betapa luhurnya arti sebuah integritas dalam diri.  Untuk bisa mendapatkan itu semua hanya bisa dibayar dengan waktu dan ketahanan berproses lebih baik. Karena menjadi berintegritas itu bukan sebuah anugerah yang datang dengan tiba-tiba. Ia tidak diturunkan dari orang tua.
Maka, pembentukan integritas itu butuh direncanakan sematang mungkin. Semuanya berpeluang pada diri kita, bergantung pada bagaimana kita bertindak.
Langkah-langkah membangun integritas.
Menurut Andreas Harefa, integritas menjadi tiga kunci yang dapat diamati dan dibangun dengan cara; menunjukkan kejujuran, memenuhi komitmen dan berperilaku secara konsisten.

1.       Menunjukkan kejujuran.

Kita tahu betapa luhur arti jujur. Jujur tidak bisa ditukar oleh kekayaan dan jabatan. Orang yang jujur lebih tinggi kedudukannya ketimbang orang pandai yang sering berbohong. Sekali saja kita tidak jujur baik kepada diri sendiri ataupun oranglain maka kekecewaan lah yang harus siap diterima sebagai konsekuensi. Oleh karena itu, hindari kebohongan karena itu bisa meracuni hati, pikiran dan tindakan. Dan dengan mudah akan menuntut kita untuk menyimpang dari nilai-nilai kebenaran.

2.       Memenuhi komitmen.

Sebagai pribadi yang memiliki komitmen untuk membangun masyarakat menjadi lebih baik, maka seyogyanya nilai hidup itu harus tercermin dan diwujudkan dalam setiap tindakan. Kita perlu memegang erat sekaligus bertanggung jawab terhadap komitmen itu supaya menjadi kompas hidup yang siap mengarahkan pada jalan kebaikan. Jangan sampai kita sendiri yang malah berkhianat pada komitmen itu.

3.       Berperilaku secara konsisten.

Meminjam istilah dari Killinger (2007) “Integrity is doing the right thing for the right reason”. Melakukan hal yang benar untuk tujuan yang benar secara konsisten memang disadari penuh tantangan dan godaan yang besar. Seringkali, hal itu memengaruhi keputusan untuk memilih jalan pintas dan pada akhirnya menjerumuskan kita. Tak jarang dijumpai orang yang berusaha idealis digoda dengan kekayaan, kenikmatan dan jabatan akhirnya tergiur dan melanggar nilai yang sudah dipegang. Ia tidak lagi memandang penting kebermaknaan. Disinilah dibutuhkan peran analisis setiap keputusan untuk mengesampingkan pembenaran atau rasionalisasi tindakan salah. Jika kita ingin dikenal sukses sebagai komunikator yang berintegritas maka bentuklah keseluruhan pribadi kita secara utuh dan konsisten terhadap prinsip hidup kita. Karena integritas adalah kesetiaan terhadap yang benar. 
Terakhir, ada sebuah ungkapan yang menyatakan: tanpa integritas, motivasi menjadi berbahaya; tanpa motivasi, kapasitas menjadi tak berdaya; tanpa kapasitas, pemahaman menjadi terbatas; tanpa pemahaman, pengetahuan tidak ada artinya; tanpa pengetahuan, pengalaman menjadi buta.
Jika Islam rahmatan lil alamin dan nilai keseimbangan  adalah jalan yang kita yakini benar maka setia lah pada jalan itu. Jangan berpaling apalagi berniat untuk berkhianat. Karena kesetiaan kita pada jalan itulah yang akan mengantarkan pada surga-Nya.

Jadilah insan yang berintegritas karena itu adalah keniscayaan suksesnya para pencita-cita surga. Tanpanya, misi pembangunan masyarakat thoyyibah menjadi sia-sia. Teruslah bentuk integritas itu. Demi Illah. Demi organisasi. Demi kebenaran. Dan demi tegaknya Islam Rahmatan lil’alamin.