Integritas
merupakan prasyarat utama yang menentukan sukses atau gagalnya sebuah karir. Seringkali masalah kegagalan karir bukan karena individu tersebut minim
prestasi ataupun tidak memiliki segudang pengalaman dalam bidang yang digeluti,
melainkan rendahnya integritaslah yang menjadi penyebab. Realitas membuktikan sepintar
apapun diri kita, tidak mungkin bernilai seandainya ditempuh dengan menghalalkan
segala cara. Meskipun cerdas tetapi memiliki rekam jejak pernah melakukan
plagiasi, maka jangan heran ketika banyak hambatan kepercayaan di lapangan
karir nanti. Dan fakta berbicara sehebat apapun karya dan setinggi apapun
jabatan yang telah dicapai, masa depannya pasti hancur jika diwarnai aksi korupsi.
Begitupun dengan seorang pendakwah, kesuksesannya akan tertunda jika pesan yang
disampaikan justru bermuatan provokasi. Fenomena di atas itu hanyalah sebuah
gejala yang nampak dari awal kehancuran karir. Sesungguhnya akar permasalahannya
bersumber pada integritas.
Penyebab
utama dari realitas yang menggambarkan krisis integritas—yang bisa berakibat
fatal terhadap karir—karena ada pandangan bahwa keberhasilan karir hanya
ditentukan dari segi kompetensi dan kecerdasan akademik belaka. Tanpa melihat
lebih jauh bahwa integritas begitu berharga. Akibatnya mereka mengenyampingkan unsur
kejujuran dan kebenaran dalam mengambil keputusan. Selain itu, berkembang
paradigma bahwa yang perlu membangun integritas hanyalah pemimpin. Di luar
jabatan itu ditafsirkan bebas berperilaku apa saja, sekalipun menyimpang. Padahal
pentingnya integritas tidak terikat dengan jabatan. Dan terakhir, ingin
“instan” dalam mencapai target keberhasilan. Segala langkah ditempuhnya yang
perlahan justru menghancurkan reputasinya.
Harapannya
pemahaman kita bisa utuh terkait apa itu integritas dan bagaimana cara
membangunnya serta menyadari betapa bernilainya sebuah integritas.
Integritas
berasal dari bahasa Latin “integer” yang berarti utuh atau lengkap. Menurut
KBBI, integritas didefinisikan sebagai sebuah mutu, sifat, atau keadaan yg
menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg
memancarkan kewibawaan; kejujuran. Berdasarkan pendekatan teori perkembangan moral
kognitif (Kohlberg, 1984), integritas dimaknai sebagai loyalitas kepada prinsip
dan nilai moral universal. Sedangkan lawan dari istilah integritas adalah hipocrisy
(hipokrit atau munafik).
Sederhananya,
ketika berbicara tentang integritas berarti berbicara tentang konsistensi yang
utuh antara apa yang dia yakini dengan tindakan yang tercermin sehari-hari. Tapi
nyatanya, menjaga keselarasan hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Itu merupakan soft skill tersendiri
yang bisa membentuk kualitas diri positif seseorang dan membantu menjalani
hidup yang lebih positif, mampu dipercaya dan konsisten.
Kita
bisa lihat betapa luhurnya arti sebuah integritas dalam diri. Untuk bisa mendapatkan itu semua hanya bisa
dibayar dengan waktu dan ketahanan berproses lebih baik. Karena menjadi
berintegritas itu bukan sebuah anugerah yang datang dengan tiba-tiba. Ia tidak
diturunkan dari orang tua.
Maka,
pembentukan integritas itu butuh direncanakan sematang mungkin. Semuanya berpeluang
pada diri kita, bergantung pada bagaimana kita bertindak.
Langkah-langkah membangun integritas.
Menurut
Andreas Harefa, integritas menjadi tiga kunci yang dapat diamati dan dibangun
dengan cara; menunjukkan kejujuran, memenuhi komitmen dan berperilaku secara
konsisten.
1.
Menunjukkan kejujuran.
Kita tahu betapa luhur arti jujur. Jujur tidak bisa ditukar oleh kekayaan
dan jabatan. Orang yang jujur lebih tinggi kedudukannya ketimbang orang pandai
yang sering berbohong. Sekali saja kita tidak jujur baik kepada diri sendiri
ataupun oranglain maka kekecewaan lah yang harus siap diterima sebagai
konsekuensi. Oleh karena itu, hindari kebohongan karena itu bisa meracuni hati,
pikiran dan tindakan. Dan dengan mudah akan menuntut kita untuk menyimpang dari
nilai-nilai kebenaran.
2.
Memenuhi komitmen.
Sebagai pribadi yang memiliki komitmen untuk membangun masyarakat menjadi
lebih baik, maka seyogyanya nilai hidup itu harus tercermin dan diwujudkan dalam
setiap tindakan. Kita perlu memegang erat sekaligus bertanggung jawab terhadap komitmen
itu supaya menjadi kompas hidup yang siap mengarahkan pada jalan kebaikan.
Jangan sampai kita sendiri yang malah berkhianat pada komitmen itu.
3.
Berperilaku secara konsisten.
Meminjam
istilah dari Killinger (2007) “Integrity
is doing the right thing for the right reason”. Melakukan hal yang benar
untuk tujuan yang benar secara konsisten memang disadari penuh tantangan dan
godaan yang besar. Seringkali, hal itu memengaruhi keputusan untuk memilih
jalan pintas dan pada akhirnya menjerumuskan kita. Tak jarang dijumpai orang
yang berusaha idealis digoda dengan kekayaan, kenikmatan dan jabatan akhirnya
tergiur dan melanggar nilai yang sudah dipegang. Ia tidak lagi memandang penting
kebermaknaan. Disinilah dibutuhkan peran analisis setiap keputusan untuk
mengesampingkan pembenaran atau rasionalisasi tindakan salah. Jika kita ingin
dikenal sukses sebagai komunikator yang berintegritas maka bentuklah
keseluruhan pribadi kita secara utuh dan konsisten terhadap prinsip hidup kita.
Karena integritas adalah kesetiaan terhadap yang benar.
Terakhir, ada sebuah ungkapan yang
menyatakan: tanpa integritas, motivasi menjadi berbahaya; tanpa motivasi,
kapasitas menjadi tak berdaya; tanpa kapasitas, pemahaman menjadi terbatas;
tanpa pemahaman, pengetahuan tidak ada artinya; tanpa pengetahuan, pengalaman
menjadi buta.
Jika Islam rahmatan lil alamin dan nilai keseimbangan adalah jalan yang
kita yakini benar maka setia lah pada jalan itu. Jangan berpaling apalagi
berniat untuk berkhianat. Karena kesetiaan kita pada jalan itulah yang akan mengantarkan pada
surga-Nya.
Jadilah
insan yang berintegritas karena itu adalah keniscayaan suksesnya para
pencita-cita surga. Tanpanya, misi pembangunan masyarakat thoyyibah menjadi
sia-sia. Teruslah bentuk integritas itu. Demi Illah. Demi organisasi. Demi
kebenaran. Dan demi tegaknya Islam Rahmatan lil’alamin.