Senin, 17 Oktober 2016

KEKELIRUAN MENGINTERPRETASI




Tak bisa dipungkiri persepsi negatif selalu mengusik pola pikir kita. Ketika dihadapkan pada sebuah masalah, seringkali kita cepat menyimpulkan bahwa itu sulit untuk dipecahkan, hanya dilihat dari “bobot”nya saja. Bahkan sampai menjadi stigma bahwa datangnya masalah menjadi beban kehidupan yang mengganggu. Begitupun saat berkomunikasi dengan orang lain, kita menganalisa tiap ucapan, sikap, tingkah laku dan bahkan ekspresi wajahnya. Muncullah persepsi terhadap lawan bicara. Jika ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan harapan atau pola pikir kita, maka hasilnya menjadi persepsi negatif. Misal, kalian berharap bisa nyaman berkomunikasi dengan orang yang ceria dan ramah—sesuai dengan karakter diri Anda. Tapi, setelah beberapa kali mencoba berinteraksi, ternyata respon dari pihak komunikan; cuek, datar dan sinis. Saat itu juga, kalian akan mempersepsi bahwa orang tersebut tidak mengasyikkan, membosankan dan judgement lainnya. Itulah kekeliruan persepsi yang selama ini terjadi.

Persepsi dimaknai sebagai sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti terhadap lingkungan di sekitar mereka. Pada intinya, persepsi adalah hasil pemikiran kita melalui proses penginderaan. Hasil interpretasi itulah yang akan memengaruhi kinerja tubuh dalam bertindak. Ketika sebuah persepsi menempel di kepala kita, itulah pilihan yang sudah kita ambil. Repotnya, tidak selamanya keputusan interpretasi kita berdasarkan kenyataan yang ada. Apalagi jika ditambah dengan pengalaman kita sebelumnya dalam berhubungan dengan hal tertentu. Sekali benci, selamanya akan begitu, demikian jalannya otak kita. Parahnya tindakan negatif terhadap pribadi kita ternyata lebih dalam pengaruhnya terhadap persepsi yang sudah kita bangun.
 
Menurut beber­apa buku lit­er­atur men­ge­nai NLP (Neuro-Linguistic Pro­gram­ming) atau Hyp­nother­apy dise­butkan bahwa piki­ran dan tubuh sal­ing berhubun­gan. Sehingga ketika piki­ran mem­persep­sikan sebuah masalah akan ter­jadi, maka tubuh mere­spon seperti apa yang seharusnya dipikirkan. Ketika hasil berpikirnya negatif maka tubuh mere­spon pula secara negatif. Deepak Chopra berpen­da­pat bahwa self talk—hal yang akan menentukan apakah seseorang baik atau tidak—manu­sia dalam sehari sebanyak 55.00065.000 kali dan 65%-nya negatif. 

Oleh karena itu, perlu disadari persepsi kita seringkali tidak cermat. Ketidakcermatan itu bisa dari beberapa faktor yang akhirnya melahirkan persepsi negatif:

Pertama, ada asumsi atau pengharapan kita yang tidak sesuai dengan realitas tertentu. Misal kita berharap Mata Kuliah Filsafat akan mudah dan menyenangkan. Tapi nyatanya ketika masuk kelas pertama kali, kita sudah tidak paham istilah-istialh asing yang dijelaskan oleh dosen. Dari pengalaman tersebut kita mempersepi MK Filsafat itu sulit, membosankan. Tidak berhenti sampai situ, penilaian yang terbentuk akan berlanjut sampai seterusnya. Perlahan mulai menghindari setiap ada TM itu dan rasanya ingin segera diakhiri. Filsafat itu hanya bisa dimengerti oleh orang-orang tertentu saja. 

Kedua, selalu terkungkung dengan prasangka buruk. Prasangka dianggap suatu kekeliruan persepsi terhadap realitas yang hanya berpijak dari pengalaman terdahulu, tanpa membuktikan kenyataan sebenarnya seperti apa. Terutama berprasangka buruk terhadap kemampuan kita. Dari sinilah asal muasal kepesimisan itu dibangun. Kita kerap mengatakan “Saya sepertinya tidak mampu memecahkan soal yang sulit dalam waktu 2 hari, itu rasanya tidak mungkin”. Persepsi itu sudah dibangun kokoh diawal karena ada pengalaman kegagalan sebelumnya yang dijadikan legitimasi. Padahal kita belum mencoba sama sekali, tapi parahnya sudah terjebak dalam jeratan persepsi negatif. Kecenderungannya kita tidak berani melihat peluang dari sudut pandang yang berbeda terhadap masalah tertentu. Seandainya kita bisa melihat itu, pasti energi negatif tersebut berubah menjadi kekuatan yang besar. Tidak ada lagi ker­aguan untuk bertin­dak, berhenti berpikir, merasa tidak ber­daya dan demotivasi.

Bayangkan seandainya Om Thomas Alfa Edison berhenti memecahkan lampu yang ke 9.998 hanya karena ia berpersepsi keberhasilan sudah tidak mungkin dicapai. Maka kita tidak akan bisa menikmati terangnya malam hari. Hanya kurang 1 lampu lagi dia berhasil! Sungguh sayang bukan?

Mungkin detik ini waktu yang tepat untuk mengubah penilaian kita yang cenderung tergesa-gesa. Saya yakin perubahan itu tidak dimulai dari orang lain melainkan dimulai dari diri kita. Semua itu diawali dengan mengubah persepsi negatif selama ini, maka sikap kita dengan sendirinya akan mengikuti. Because, “You are what you think”. Dirimu adalah cerminan dari apa yang kamu pikirkan. Jika dibenak mu hanya berisi hal negatif, maka itulah dirimu. Jangan biarkan diri kita terkontaminasi hanya karena kekeliruan mempersepsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar