Tak bisa dipungkiri persepsi negatif selalu
mengusik pola pikir kita. Ketika dihadapkan pada sebuah masalah, seringkali
kita cepat menyimpulkan bahwa itu sulit untuk dipecahkan, hanya dilihat dari “bobot”nya
saja. Bahkan sampai menjadi stigma bahwa datangnya masalah menjadi beban
kehidupan yang mengganggu. Begitupun saat berkomunikasi dengan orang lain, kita
menganalisa tiap ucapan, sikap, tingkah laku dan bahkan ekspresi wajahnya.
Muncullah persepsi terhadap lawan bicara. Jika ada beberapa hal yang tidak
sesuai dengan harapan atau pola pikir kita, maka hasilnya menjadi persepsi
negatif. Misal, kalian berharap bisa nyaman berkomunikasi dengan orang yang
ceria dan ramah—sesuai dengan karakter diri Anda. Tapi, setelah beberapa kali
mencoba berinteraksi, ternyata respon dari pihak komunikan; cuek, datar dan sinis.
Saat itu juga, kalian akan mempersepsi bahwa orang tersebut tidak mengasyikkan,
membosankan dan judgement lainnya. Itulah
kekeliruan persepsi yang selama ini terjadi.
Persepsi dimaknai sebagai sebuah proses saat individu mengatur dan
menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti terhadap lingkungan
di sekitar mereka. Pada intinya, persepsi
adalah hasil pemikiran kita melalui proses penginderaan. Hasil interpretasi
itulah yang akan memengaruhi kinerja tubuh dalam bertindak. Ketika sebuah persepsi menempel di
kepala kita, itulah pilihan yang sudah kita ambil. Repotnya, tidak selamanya
keputusan interpretasi kita berdasarkan kenyataan yang ada. Apalagi jika
ditambah dengan pengalaman kita sebelumnya dalam berhubungan dengan hal
tertentu. Sekali benci, selamanya akan begitu, demikian jalannya otak kita. Parahnya
tindakan negatif terhadap pribadi kita ternyata lebih dalam pengaruhnya
terhadap persepsi yang sudah kita bangun.
Menurut beberapa buku literatur mengenai NLP
(Neuro-Linguistic Programming) atau Hypnotherapy
disebutkan bahwa pikiran dan tubuh saling berhubungan. Sehingga ketika pikiran
mempersepsikan sebuah masalah akan terjadi, maka tubuh merespon seperti apa
yang seharusnya dipikirkan. Ketika hasil berpikirnya negatif maka tubuh merespon
pula secara negatif. Deepak Chopra berpendapat
bahwa self talk—hal yang akan
menentukan apakah seseorang baik atau tidak—manusia dalam sehari sebanyak 55.000 – 65.000 kali dan 65%-nya negatif.
Oleh karena itu, perlu disadari persepsi kita seringkali tidak cermat. Ketidakcermatan itu bisa
dari beberapa faktor yang akhirnya melahirkan persepsi negatif:
Pertama, ada asumsi atau pengharapan kita yang
tidak sesuai dengan realitas tertentu.
Misal kita berharap Mata Kuliah Filsafat akan mudah dan menyenangkan. Tapi
nyatanya ketika masuk kelas pertama kali, kita sudah tidak paham
istilah-istialh asing yang dijelaskan oleh dosen. Dari pengalaman tersebut kita
mempersepi MK Filsafat itu sulit, membosankan. Tidak berhenti sampai situ,
penilaian yang terbentuk akan berlanjut sampai seterusnya. Perlahan mulai
menghindari setiap ada TM itu dan rasanya ingin segera diakhiri. Filsafat itu
hanya bisa dimengerti oleh orang-orang tertentu saja.
Kedua, selalu terkungkung dengan
prasangka buruk. Prasangka dianggap suatu kekeliruan persepsi terhadap realitas yang hanya
berpijak dari pengalaman terdahulu, tanpa membuktikan kenyataan sebenarnya
seperti apa. Terutama berprasangka buruk terhadap kemampuan kita. Dari sinilah
asal muasal kepesimisan itu dibangun. Kita kerap mengatakan “Saya sepertinya
tidak mampu memecahkan soal yang sulit dalam waktu 2 hari, itu rasanya tidak
mungkin”. Persepsi itu sudah dibangun kokoh diawal karena ada pengalaman
kegagalan sebelumnya yang dijadikan legitimasi. Padahal kita belum mencoba sama
sekali, tapi parahnya sudah terjebak dalam
jeratan persepsi negatif. Kecenderungannya kita tidak berani melihat peluang
dari sudut pandang yang berbeda terhadap masalah tertentu. Seandainya kita bisa
melihat itu, pasti energi negatif tersebut berubah menjadi kekuatan yang besar.
Tidak ada lagi keraguan untuk bertindak, berhenti
berpikir, merasa tidak berdaya dan demotivasi.
Bayangkan seandainya Om Thomas Alfa Edison berhenti
memecahkan lampu yang ke 9.998 hanya karena ia berpersepsi keberhasilan sudah
tidak mungkin dicapai. Maka kita tidak akan bisa menikmati terangnya malam
hari. Hanya kurang 1 lampu lagi dia berhasil! Sungguh sayang bukan?
Mungkin detik ini waktu yang tepat untuk mengubah penilaian kita
yang cenderung tergesa-gesa. Saya yakin
perubahan itu tidak dimulai dari orang lain melainkan dimulai dari diri kita.
Semua itu diawali dengan mengubah persepsi negatif selama ini, maka sikap kita
dengan sendirinya akan mengikuti. Because, “You
are what you think”. Dirimu adalah cerminan dari apa yang kamu
pikirkan. Jika dibenak mu hanya berisi hal negatif, maka itulah dirimu. Jangan
biarkan diri kita terkontaminasi hanya karena kekeliruan mempersepsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar