Politik
menjadi arena yang sangat “menjanjikan” bagi siapa pun yang minat berkuasa di
Indonesia. Politik memberikan peluang besar untuk bisa menduduki kursi panas di
parlemen. Banyak politikus bersedia menghabiskan hartanya agar bisa mencalonkan
diri sebagai Capres dan Cawapres. Mereka rela meninggalkan karirnya—di luar
bidang politik—demi mempertaruhkan nasibnya di dunia yang penuh pencitraan.
Bagi politikus yang haus akan kekuasaan, arena perebutan jabatan ini memang
begitu menggoda. Sejarah membuktikan bahwa ada catatan kelam yang diwariskan
pemimpin kita sebelumnya akibat terlena dan terlalu asyik dengan permainan
politik. Dua Presiden RI pernah mengalami pemakzulan karena moralnya yang melanggar
konstitusi. Soekarno setelah terlena menjabat selama 20 tahun, ia akhirnya
dicopot statusnya sebagai pemimpin negara karena terlibat dalam peristiwa G 30
S/PKI yang mengancam kesatuan NKRI. Mereka tergiur dengan nikmatnya menjadi
pihak yang berwenang. Tak jauh berbeda, Gus Dur berhasil dilengserkan oleh MPR
karena ia mengganti Kapolri tanpa persetujuan DPR kemudian Presiden
mengeluarkan maklumat pembubaran MPR/DPR yang menurut MA adalah
inkonstitusional. Dibayangannya semua bisa dikuasai ketika menjabat nanti:
harta, tahta, aset negara, dasar negara hingga warga biasa pun bisa diatur
semena-mena.
Mirisnya,
tak sedikit elite porpol yang menempatkan politik di atas segalanya. Mereka
beranggapan kekuasaan merupakan tujuan utama berpolitik. Jika pola pikir seperti itu yang
dikembangkan, maka jelas segala cara pun dihalalkan, termasuk upaya penjegalan
parpol lainnya pun dimaklumi. Misi menyejaterahkan rakyat pun bergeser menjadi
memperkaya diri. Itulah motif mereka—yang telah memanipulasi orientasi
berkontibusi membangun masyarakat di bumi pertiwi. Wajar jika ada ungkapan
“Politik itu Kotor”, karena tidak jarang mereka bermain tanpa kenal kata
sportif. Mereka tidak lagi mengenal demokrasi bersih. Apapun dilaksanakan asal
kemenangan bisa dikantongi. Mereka tidak lagi mengindahkan nilai-nilai
kejujuran dalam berdemokrasi. Apalagi soal integritas pemimpin, sepertinya
sudah luntur. KKN merajalela. Tradisi money
politik semakin marak membudaya, terlebih saat pilkada. Bahkan, konflik
internal partai kerap terjadi sampai dibeberkan ke publik. Seperti fenomena konflik di
tubuh Partai Golkar yang memunculkan dualisme kepengurusan, diantaranya
Aburizal Bakrie (Munas Bali) dan Agung Laksono (Munas Jakarta). Nyatanya para
politisi abai. Hadirnya parpol dalam sebuah sistem politik dilandasi oleh
tujuan dan agenda politik yang ingin dicapai melalui perebutan kekuasaan, bukan
malah memunculkan perpecahan solidaritas. Harusnya antar elite politisi mampu
melakukan rekonsiliasi
hubungan mereka agar kinerja membenahi negara pun semakin optimal. Dalam
konteks ini, kekuasaan hanya sebagai sarana dan instrumen untuk mewujudkan
cita-cita politik.
Paradigma
politik yang praktis bisa membawa bahaya pada generasi penerus bangsa. Jika
pragmatisme politik seperti demikian terus ditanamkan, tentunya akan membuat
aktivis muda menjadi gamang ketika dituntut terjun ke medan
perpolitikan Indonesia. Mereka yang memiliki semangat menjadikan politik
sebagai alat, khawatir jika niat mulia itu harus terkontaminasi dengan ideologi
kepraktisan di luar. Mereka akan lebih memilih apatis dengan politik. Bisa jadi
10 tahun kedepan, tidak ada yang peduli lagi ketika diajak membahas HAM, karena
sudah ada stigma hanya kepentingan elite politik saja. Padahal, bangsa ini
sedang membutuhkan persatuan nasional dari berbagai elemen untuk meretas
jalan perubahan perpolitikan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar