Rabu, 19 Oktober 2016

Dampak Menjadikan Politik sebagai Tujuan Utama Berkuasa

Politik menjadi arena yang sangat “menjanjikan” bagi siapa pun yang minat berkuasa di Indonesia. Politik memberikan peluang besar untuk bisa menduduki kursi panas di parlemen. Banyak politikus bersedia menghabiskan hartanya agar bisa mencalonkan diri sebagai Capres dan Cawapres. Mereka rela meninggalkan karirnya—di luar bidang politik—demi mempertaruhkan nasibnya di dunia yang penuh pencitraan. Bagi politikus yang haus akan kekuasaan, arena perebutan jabatan ini memang begitu menggoda. Sejarah membuktikan bahwa ada catatan kelam yang diwariskan pemimpin kita sebelumnya akibat terlena dan terlalu asyik dengan permainan politik. Dua Presiden RI pernah mengalami pemakzulan karena moralnya yang melanggar konstitusi. Soekarno setelah terlena menjabat selama 20 tahun, ia akhirnya dicopot statusnya sebagai pemimpin negara karena terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI yang mengancam kesatuan NKRI. Mereka tergiur dengan nikmatnya menjadi pihak yang berwenang. Tak jauh berbeda, Gus Dur berhasil dilengserkan oleh MPR karena ia mengganti Kapolri tanpa persetujuan DPR kemudian Presiden mengeluarkan maklumat pembubaran MPR/DPR yang menurut MA adalah inkonstitusional. Dibayangannya semua bisa dikuasai ketika menjabat nanti: harta, tahta, aset negara, dasar negara hingga warga biasa pun bisa diatur semena-mena.
Mirisnya, tak sedikit elite porpol yang menempatkan politik di atas segalanya. Mereka beranggapan kekuasaan merupakan tujuan utama berpolitik.  Jika pola pikir seperti itu yang dikembangkan, maka jelas segala cara pun dihalalkan, termasuk upaya penjegalan parpol lainnya pun dimaklumi. Misi menyejaterahkan rakyat pun bergeser menjadi memperkaya diri. Itulah motif mereka—yang telah memanipulasi orientasi berkontibusi membangun masyarakat di bumi pertiwi. Wajar jika ada ungkapan “Politik itu Kotor”, karena tidak jarang mereka bermain tanpa kenal kata sportif. Mereka tidak lagi mengenal demokrasi bersih. Apapun dilaksanakan asal kemenangan bisa dikantongi. Mereka tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kejujuran dalam berdemokrasi. Apalagi soal integritas pemimpin, sepertinya sudah luntur. KKN merajalela. Tradisi money politik semakin marak membudaya, terlebih saat pilkada. Bahkan, konflik internal partai kerap terjadi sampai dibeberkan ke publik. Seperti fenomena konflik di tubuh Partai Golkar yang memunculkan dualisme kepengurusan, diantaranya Aburizal Bakrie (Munas Bali) dan Agung Laksono (Munas Jakarta). Nyatanya para politisi abai. Hadirnya parpol dalam sebuah sistem politik dilandasi oleh tujuan dan agenda politik yang ingin dicapai melalui perebutan kekuasaan, bukan malah memunculkan perpecahan solidaritas. Harusnya antar elite politisi mampu melakukan rekonsiliasi hubungan mereka agar kinerja membenahi negara pun semakin optimal. Dalam konteks ini, kekuasaan hanya sebagai sarana dan instrumen untuk mewujudkan cita-cita politik.
Paradigma politik yang praktis bisa membawa bahaya pada generasi penerus bangsa. Jika pragmatisme politik seperti demikian terus ditanamkan, tentunya akan membuat aktivis muda menjadi gamang ketika dituntut terjun ke medan perpolitikan Indonesia. Mereka yang memiliki semangat menjadikan politik sebagai alat, khawatir jika niat mulia itu harus terkontaminasi dengan ideologi kepraktisan di luar. Mereka akan lebih memilih apatis dengan politik. Bisa jadi 10 tahun kedepan, tidak ada yang peduli lagi ketika diajak membahas HAM, karena sudah ada stigma hanya kepentingan elite politik saja. Padahal, bangsa ini sedang membutuhkan persatuan nasional dari berbagai elemen untuk meretas jalan perubahan perpolitikan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar