Selasa, 13 September 2016



SAHABAT DUNIA AKHIRAT
Oleh : Ni’amatul Latifah
Based On True Story
A
wal dari masalah perpisahan rumit ini terjadi adalah karena keputusan Febri yang tak bisa diganggu gugat malam itu. Ya, keputusannya membuatku tak habis pikir. Baru saja Jumat siang tadi Aku, Augia, Septhia dan Meiko merayakan ulang tahunnya dengan perjuangan besar dan suasana yang begitu mengharukan. Tapi, sekarang kebahagiaan itu hilang, berubah drastis. Perjuanganku membelikan brownies terlezat sampai harus kehujanan basah kuyup sejauh 5 km magrib-magrib, ternyata dibalas dengan rasa pahit kehilangan. Perjuangan Augia yang harus koordinasi dengan Septhia untuk memindahkan tasnya ke taman belakang kampus, ternyata ditukar dengan rasa kecewa. Perjuangan Meiko mengawasinya agar tak ada kecurigaan sedikitpun sejak sholat Jumat, ternyata diganti dengan rasa kesal.
Tepat diumur barunya yang ke-20, Ia mengungkapkan rasa ketidaknyamanannya bersama kami. Ketidaknyamanan yang selama ini ia tutupi. Sungguh, kejutan yang luar biasa bagi persahabatan BINTANG, mengalahkan kejutan ulang tahunnya.
************************************
Jam menunjukkan pukul 22.00 wib. Aku memilih duduk di balkon lantai dua, keluar dari kamar yang membuat ku merasa pengap. Malam itu langit begitu cerah. Tak ada kabut yang menyelimuti maupun menghalangi pandanganku. Aku duduk di samping pot bunga geranium, menggenggam ponsel kesayanganku. Aku mengamati langsung formasi bintang gemintang beserta sinarnya yang tersebar ditengah kegelapan malam. Tak seperti biasanya, baru kali ini aku menikmati sejuknya udara di Surabaya. Tapi sayang, kesejukan itu tak terasa sedikitpun di pikiranku sejak aku menerima pesan dari Febri di grup persahabatan, Bintang.
Tiba-tiba hpku bergetar cukup lama—pertanda ada 2 pesan masuk sekaligus di Whatsapp. Seketika, aku mengalihkan fokus sepenuhnya ke layar pesan. Tanpa perlu membaca dua kali, pikiranku dipenuh tanda tanya besar. Ada apa gerangan? Kesimpulan apa yang akan aku ketahui dipenghujung malam nanti? Bukankah sore tadi semua baik-baik saja.
“Teman-teman, makasih banyak atas kejutan tadi sore. Ini kali kedua kalian hadir mewarnai hari ulang tahun ku yang ke 20. Semoga Allah lah yang akan membalas kebaikan kalian.”
“Maaf sebelumnya kalau saya belum bisa jadi sahabat yang baik buat kalian. Saya ijin keluar dulu dari grup Bintang untuk sementara, ada urusan lain yang harus saya selesaikan.”
Pesan terakhir dari Fabri seperti sebuah teka-teki besar dalam persahabatan kecil yang sudah terjalin hampir 2 tahun. Memang seperti ada yang tak terjelaskan lengkap dalam pesannya. Tapi, aku mulai menyadari ternyata selama ini aku terlalu memaksakan perbedaan itu. Ada masalah besar yang tak terlihat oleh Aku—ketuanya sendiri.
Belum sempat Aku, Augia, Septhia dan Meiko menanggapi, Febri—lelaki yang teguh pendirian—sudah lebih dahulu meninggalkan grup Bintang. Ku lihat memang tak ada yang online selain aku.
Malam semakin larut. Lampu kamar sudah banyak yang dimatikan, hanya menyisakan lampu jalan sejauh mata memandang. Aku menghela nafas panjang. Aku memaksa mataku untuk tetap terjaga meskipun seharian tadi di kampus cukup melelahkan. Berharap ada jawaban yang bisa kutemukan atas keganjilan perpisahan mendadak dan sepihak tersebut.
*************************************
Aku sudah menduga, cepat atau lambat akan ada pembahasan sensitif mengenai Febri di grup. Jam 07.00 pagi, percakapan di grup sudah ramai membahas hilangnya satu anggota kami. Hari ini tak ada agenda di kampus. Aku memilih merilekskan pikiran di kamar.
“Julia, ada masalah apa sebenarnya? Febri kenapa kok tiba-tiba keluar grup? Apa dia tidak suka kemarin kita kasih kejutan di hari ulang tahunnya?” Augia menyerbu dengan beberapa pertanyaan sekaligus, mencoba menduga-duga alasannya.
“Ada yang aneh menurutku. Kok alasannya gak logis ya? Apa dengan dia gabung di grup ini mengganggu urusannya?” Septhia menyelidik dengan rasa penasarannya.  
 “Mungkin dia lelah.” Meiko dengan singkat menimpali tanpa data, membuat yang lain semakin kesal atas ketidakjelasannya.  Tak perlu satu hari, Febri menjadi trending topic dalam grup.
Aku terdiam sejenak di kamar melihat percakapan itu semakin menekanku. Sekarang juga aku harus jelaskan semuanya sebelum mereka berpersepsi yang tidak-tidak. Aku menarik nafas, berusaha menangkan diriku. Aku berpikir keras menyusun pesan bagaimana agar mereka menerima alasan Febri keluar. Tanganku gemetar saat mengetik pesan di hp.
“Tenang yah teman-teman. Semua akan terjelaskan. Ini hanya soal misskomunikasi. Kalian harus janji, apapun alasannya kita harus menerima. Sebenarnya alasan Febri itu benar, dia memang sibuk dengan urusan komting—pemimpin kelas—di kampus. Dia punya tanggungjawab lain. Tapi lebih dari itu, dia menilai persahabatan ini sudah berubah arah, tidak lagi saling membantu dalam hal belajar bersama. Kita lebih banyak bersenang-senang, selalu merayakan setiap ada teman yang ulang tahun, berselfie ria dan seterusnya. Dia merasa kurang bermakna jika seandainya dipaksakan tetap menjadi anggota ‘Bintang’.” Jawabku dengan sepadat mungkin berusaha menenagkan psikologis mereka. Aku langsung menekan tombol kirim.
Lima detik kemudian, pesan sudah bertanda ceklis biru dua. Tak ada yang offline satupun. Aku yakin mereka sedang memahami perlahan makna pesanku. Beberapa menit kemudian, suasana percakapan di grup semakin panas. Membuatku tak bisa mengendalikan nasib persahabatan kami.
“Sebenernya aku juga merasakan apa yang Febri rasakan.” Meiko memecah keheningan grup. Ternyata selama ini persahabatan ini penuh dengan sandiwara—gumamku dalam hati. Saat itu juga, Aku melihat Septhia typing...
“Yaudah kalo kau mau keluar, keluar aja.” Balas Septhia tanpa memberikan kesempatan Meiko menjelaskan.
Meiko left group.
Notifikasi itu membuat dada ku semakin sesak. Masalah semakin runyam. Ada PR baru yang harus aku selesaikan.  
*************************************
Dialektika di grup terus berlanjut. 
“Ya ampun kok jadi begini sih.” Augia merespon dengan penuh ketidakmengertian.
“Ya gimana lagi, Gia. Daripada Meiko nanti gak nyaman kalo terus bersama kita.” Septhia memberikan penjelasan.
Aku menelan ludah. Aku memegang kepala yang rasanya ingin pecah. Berusaha menahan rasa sakit semenjak masalah rumit ini berkembang. Aku harus tegar menerima pahitnya kenyataan—kehilangan dua bintang dalam waktu yang bersamaan.
“Jujur, aku tak membayangkan sebelumnya sampai separah ini. Keputusan mereka sangat membuatku dilematis. Jika dipertahankan juga percuma mereka akan tertekan, terus merasa tidak nyaman dengan kebiasaan ‘baru’ di grup ini. Pun jika direlakan, aku sendiri belum siap kehilangan sahabat yang banyak mewarnai kehidupanku. Mereka tak bisa dipaksakan disini ” Jawabku ditengah pembahasan tentang Meiko.
“Yaudah gapapa, Gia, Tia. Tak ada yang bisa disalahkan dalam persahabatan ini. Semuanya sudah terjadi, tinggal sekarang kita evaluasi, banyak hikmah yang bisa diambil sebagai pelajaran. Harapan terbesarku cuma satu, aku tak ingin kehilangan kalian, cukup mereka.” Ungkapku dengan penuh harapan.   
“Julia, tenang aja kita janji akan terus bareng kamu. Persahabatan ini akan tetap kekal” Augia membalas dengan meyakinkan.
“Maaf, Julia. Aku gak bermaksud buat perpecahan dalam kelompok ini. Aku hanya terbuka memberikan pilihan ke Meiko.” Balas Septhia menyesali.
“Iya sahabatku, terimakasih sebelumnya. Gapapa, Tia. Ini bukan salahmu. Saat ini, hanya kalian yang aku miliki. Yuk sekarang kita kuatkan persahabatan kita.” Aku kembali membangun semangat optimis bersama Augia dan Septhia. 
*************************************
Keesokan hari tepat pukul 10.00 WIB di taman kampus tercinta, kita bertiga memutuskan untuk kumpul membahas kelanjutan persahabatan ‘Bintang’. Tanpa mereka, Aku, Augia dan Septhia akan terus bersinar menerangi. Sinar Bintang takkan pernah memudar,
Masalah perpisahan kemarin mengajarkanku bahwa kebiasaan yang seolah-olah ‘baik’, ternyata bisa menjauhkan dari nilai-nilai agama dan membuat ikatan persahabatan hancur secara perlahan. Aku belajar bahwa membangun ukhuwah tidak selalu dari kenyamanan dan kesenangan belaka. Sejak hari ini aku harus membangun paradigma baru.
“Sekarang kita harus buat tujuan baru, nih. Kita luruskan niat lagi. Ingat! Kita menjalin persahabatan ini bukan karena mengejar kebahagiaan dunia semata, melainkan ada cita-cita akhirat yang ingin kita perjuangkan bersama.” Aku memulai pembicaraan penting itu.
“Ya, Aku sepakat, Julia. Aku juga sadar bahwa selama ini kita selalu menomorsatukan kenyamanan, tapi kita lupa ada yang lebih penting dari itu, ikatan karena lillahita’ala.” Ujar Augia dengan tegas sambil menggenggam erat tanganku dan Septhia.
“Sip. Kita harus mengedepankan rasional dalam memilih sahabat. Seimbang kuncinya. Kita juga perlu menggunakan perangkat pikiran kita untuk menilai apakah ukhuwah ini mengarahkan pada jalan yang ‘lurus’ atau tidak.” Septhia dengan bijak merangkum semua hikmah persoalan kemarin sambil mengacungkan jempol.
“Dan disini, kalianlah sahabat yang tepat untuk bisa membimbingku menjadi muslimah yang lebih baik lagi. Janji yah, mulai sekarang persahabatan kita gak hanya diisi dengan senang-senang, foto-foto, jalan-jalan gak jelas, perayaan ulang tahun yang buang-buang uang. Tapi, kita harus buat persahabatan ini produktif, bisa menghasilkan karya dan pahala untuk dibawa sebagai bekal ke kampung akhirat, Surga.” Aku menutup pertemuan itu dengan senyum simpul. Ada harapan besar yang terpancar dari kedua bola mataku. 
 “Julia, Augia, Aku mau kita berjanji pada diri kita sendiri. Semester 4 ini kita harus buktikan, kita mampu jadi muslimah terbaik. Kita pacu diri kita agar senantiasa ber-fastabikhul khoirot. Ya, kita gak boleh lelah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Okey!” Septhia sangat semangat memotivasiku dan Augia, kepalan tangannya begitu kuat.  
******************************
Di penghujung semester, janji itu terbukti. Komitmen awal membuahkan hasil setelah masa-masa sulit kita lewati. Kini, “Bintang Kecil’ mulai tumbuh dewasa, mandiri dan luar biasa. Sungguh, ini di luar prediksi, kami semua menerima KHS yang sangat memuaskan. Aku bisa menjadi juara 3 paralel di jurusanku, Augia mendapat kategori mahasiswa dengan progress terbaik dan Septhia unggul di mata kuliah yang dia minati.  
Keberhasilan itu membuat kami semakin taqwa, mensyukuri segala nikmat-Nya. Persahabatan kita semakin erat. Semoga ikatan ini bisa mengantarkan kita ke Jannah-Nya yang kekal. Aamiin...
******************************
Quote & Motivation:
Tak selamanya rasa nyaman membuat persahabatan mampu bertahan. Tapi, sebuah persahabatan bisa kekal ketika ada tujuan yang jelas dan komitmen yang kuat. Kunci agar kita mampu menyelesaikan masalah adalah ketika kerja pikiran dan perasaan bisa seimbang.  

Perpisahan di dunia tidak perlu untuk disesali. Karena perpisahan sesungguhnya adalah ketika satu sahabat kita di neraka dan kita di surga. Maka, teruslah berlomba-lomba dalam kebaikan bersama sahabat kita. Agar kita bisa bersama kembali di Surga-Nya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar