SAHABAT DUNIA AKHIRAT
Oleh : Ni’amatul Latifah
Based On
True Story

A
|
wal dari masalah perpisahan rumit
ini terjadi adalah karena keputusan Febri yang tak bisa diganggu gugat malam itu.
Ya, keputusannya membuatku tak habis pikir. Baru saja Jumat siang tadi Aku,
Augia, Septhia dan Meiko merayakan ulang tahunnya dengan perjuangan besar dan
suasana yang begitu mengharukan. Tapi, sekarang kebahagiaan itu hilang, berubah
drastis. Perjuanganku membelikan brownies
terlezat sampai harus kehujanan basah kuyup sejauh 5 km magrib-magrib, ternyata
dibalas dengan rasa pahit kehilangan. Perjuangan Augia yang harus koordinasi
dengan Septhia untuk memindahkan tasnya ke taman belakang kampus, ternyata
ditukar dengan rasa kecewa. Perjuangan Meiko mengawasinya agar tak ada
kecurigaan sedikitpun sejak sholat Jumat, ternyata diganti dengan rasa kesal.
Tepat diumur
barunya yang ke-20, Ia mengungkapkan rasa ketidaknyamanannya bersama kami. Ketidaknyamanan
yang selama ini ia tutupi. Sungguh, kejutan yang luar biasa bagi persahabatan
BINTANG, mengalahkan kejutan ulang tahunnya.
************************************
Jam
menunjukkan pukul 22.00 wib. Aku memilih duduk di balkon lantai dua, keluar dari
kamar yang membuat ku merasa pengap. Malam itu langit begitu cerah. Tak ada
kabut yang menyelimuti maupun menghalangi pandanganku. Aku duduk di samping pot
bunga geranium, menggenggam ponsel kesayanganku. Aku mengamati langsung formasi
bintang gemintang beserta sinarnya yang tersebar ditengah kegelapan malam. Tak
seperti biasanya, baru kali ini aku menikmati sejuknya udara di Surabaya. Tapi
sayang, kesejukan itu tak terasa sedikitpun di pikiranku sejak aku menerima
pesan dari Febri di grup persahabatan, Bintang.
Tiba-tiba hpku
bergetar cukup lama—pertanda ada 2 pesan masuk sekaligus di Whatsapp. Seketika, aku mengalihkan
fokus sepenuhnya ke layar pesan. Tanpa perlu membaca dua kali, pikiranku
dipenuh tanda tanya besar. Ada apa gerangan? Kesimpulan apa yang akan aku
ketahui dipenghujung malam nanti? Bukankah sore tadi semua baik-baik saja.
“Teman-teman, makasih banyak atas kejutan
tadi sore. Ini kali kedua kalian hadir mewarnai hari ulang tahun ku yang ke 20.
Semoga Allah lah yang akan membalas kebaikan kalian.”
“Maaf sebelumnya kalau saya belum bisa jadi
sahabat yang baik buat kalian. Saya ijin keluar dulu dari grup Bintang untuk
sementara, ada urusan lain yang harus saya selesaikan.”
Pesan terakhir
dari Fabri seperti sebuah teka-teki besar dalam persahabatan kecil yang sudah
terjalin hampir 2 tahun. Memang seperti ada yang tak terjelaskan lengkap dalam
pesannya. Tapi, aku mulai menyadari ternyata selama ini aku terlalu memaksakan
perbedaan itu. Ada masalah besar yang tak terlihat oleh Aku—ketuanya sendiri.
Belum sempat Aku,
Augia, Septhia dan Meiko menanggapi, Febri—lelaki yang teguh pendirian—sudah
lebih dahulu meninggalkan grup Bintang. Ku lihat memang tak ada yang online selain aku.
Malam semakin
larut. Lampu kamar sudah banyak yang dimatikan, hanya menyisakan lampu jalan
sejauh mata memandang. Aku menghela nafas panjang. Aku memaksa mataku untuk
tetap terjaga meskipun seharian tadi di kampus cukup melelahkan. Berharap ada
jawaban yang bisa kutemukan atas keganjilan perpisahan mendadak dan sepihak tersebut.
*************************************
Aku sudah
menduga, cepat atau lambat akan ada pembahasan sensitif mengenai Febri di grup.
Jam 07.00 pagi, percakapan di grup sudah ramai membahas hilangnya satu anggota
kami. Hari ini tak ada agenda di kampus. Aku memilih merilekskan pikiran di
kamar.
“Julia, ada
masalah apa sebenarnya? Febri kenapa kok tiba-tiba keluar grup? Apa dia tidak
suka kemarin kita kasih kejutan di hari ulang tahunnya?” Augia menyerbu dengan
beberapa pertanyaan sekaligus, mencoba menduga-duga alasannya.
“Ada yang aneh
menurutku. Kok alasannya gak logis ya? Apa dengan dia gabung di grup ini
mengganggu urusannya?” Septhia menyelidik dengan rasa penasarannya.
“Mungkin dia lelah.” Meiko dengan singkat menimpali
tanpa data, membuat yang lain semakin kesal atas ketidakjelasannya. Tak perlu satu hari, Febri menjadi trending topic dalam grup.
Aku terdiam sejenak
di kamar melihat percakapan itu semakin menekanku. Sekarang juga aku harus
jelaskan semuanya sebelum mereka berpersepsi yang tidak-tidak. Aku menarik
nafas, berusaha menangkan diriku. Aku berpikir keras menyusun pesan bagaimana
agar mereka menerima alasan Febri keluar. Tanganku gemetar saat mengetik pesan di
hp.
“Tenang yah
teman-teman. Semua akan terjelaskan. Ini hanya soal misskomunikasi. Kalian
harus janji, apapun alasannya kita harus menerima. Sebenarnya alasan Febri itu
benar, dia memang sibuk dengan urusan komting—pemimpin
kelas—di kampus. Dia punya tanggungjawab lain. Tapi lebih dari itu, dia menilai
persahabatan ini sudah berubah arah, tidak lagi saling membantu dalam hal
belajar bersama. Kita lebih banyak bersenang-senang, selalu merayakan setiap
ada teman yang ulang tahun, berselfie
ria dan seterusnya. Dia merasa kurang bermakna jika seandainya dipaksakan tetap
menjadi anggota ‘Bintang’.” Jawabku dengan sepadat mungkin berusaha menenagkan
psikologis mereka. Aku langsung menekan tombol kirim.
Lima detik
kemudian, pesan sudah bertanda ceklis biru dua. Tak ada yang offline satupun. Aku yakin mereka sedang
memahami perlahan makna pesanku. Beberapa menit kemudian, suasana percakapan di
grup semakin panas. Membuatku tak bisa mengendalikan nasib persahabatan kami.
“Sebenernya
aku juga merasakan apa yang Febri rasakan.” Meiko memecah keheningan grup. Ternyata
selama ini persahabatan ini penuh dengan sandiwara—gumamku dalam hati. Saat itu
juga, Aku melihat Septhia typing...
“Yaudah kalo
kau mau keluar, keluar aja.” Balas Septhia tanpa memberikan kesempatan Meiko
menjelaskan.
Meiko left group.
Notifikasi itu
membuat dada ku semakin sesak. Masalah semakin runyam. Ada PR baru yang harus
aku selesaikan.
*************************************
Dialektika di
grup terus berlanjut.
“Ya ampun kok
jadi begini sih.” Augia merespon dengan penuh ketidakmengertian.
“Ya gimana
lagi, Gia. Daripada Meiko nanti gak nyaman kalo terus bersama kita.” Septhia
memberikan penjelasan.
Aku menelan
ludah. Aku memegang kepala yang rasanya ingin pecah. Berusaha menahan rasa
sakit semenjak masalah rumit ini berkembang. Aku harus tegar menerima pahitnya
kenyataan—kehilangan dua bintang dalam waktu yang bersamaan.
“Jujur, aku
tak membayangkan sebelumnya sampai separah ini. Keputusan mereka sangat
membuatku dilematis. Jika dipertahankan juga percuma mereka akan tertekan, terus
merasa tidak nyaman dengan kebiasaan ‘baru’ di grup ini. Pun jika direlakan,
aku sendiri belum siap kehilangan sahabat yang banyak mewarnai kehidupanku.
Mereka tak bisa dipaksakan disini ” Jawabku ditengah pembahasan tentang Meiko.
“Yaudah gapapa,
Gia, Tia. Tak ada yang bisa disalahkan dalam persahabatan ini. Semuanya sudah
terjadi, tinggal sekarang kita evaluasi, banyak hikmah yang bisa diambil
sebagai pelajaran. Harapan terbesarku cuma satu, aku tak ingin kehilangan
kalian, cukup mereka.” Ungkapku dengan penuh harapan.
“Julia, tenang
aja kita janji akan terus bareng kamu. Persahabatan ini akan tetap kekal” Augia
membalas dengan meyakinkan.
“Maaf, Julia.
Aku gak bermaksud buat perpecahan dalam kelompok ini. Aku hanya terbuka memberikan
pilihan ke Meiko.” Balas Septhia menyesali.
“Iya
sahabatku, terimakasih sebelumnya. Gapapa, Tia. Ini bukan salahmu. Saat ini, hanya
kalian yang aku miliki. Yuk sekarang kita kuatkan persahabatan kita.” Aku
kembali membangun semangat optimis bersama Augia dan Septhia.
*************************************
Keesokan hari tepat
pukul 10.00 WIB di taman kampus tercinta, kita bertiga memutuskan untuk kumpul
membahas kelanjutan persahabatan ‘Bintang’. Tanpa mereka, Aku, Augia dan
Septhia akan terus bersinar menerangi. Sinar Bintang takkan pernah memudar,
Masalah
perpisahan kemarin mengajarkanku bahwa kebiasaan yang seolah-olah ‘baik’, ternyata
bisa menjauhkan dari nilai-nilai agama dan membuat ikatan persahabatan hancur
secara perlahan. Aku belajar bahwa membangun ukhuwah tidak selalu dari kenyamanan dan kesenangan belaka. Sejak
hari ini aku harus membangun paradigma baru.
“Sekarang kita
harus buat tujuan baru, nih. Kita luruskan niat lagi. Ingat! Kita menjalin
persahabatan ini bukan karena mengejar kebahagiaan dunia semata, melainkan ada
cita-cita akhirat yang ingin kita perjuangkan bersama.” Aku memulai pembicaraan
penting itu.
“Ya, Aku
sepakat, Julia. Aku juga sadar bahwa selama ini kita selalu menomorsatukan kenyamanan,
tapi kita lupa ada yang lebih penting dari itu, ikatan karena lillahita’ala.” Ujar Augia dengan tegas sambil
menggenggam erat tanganku dan Septhia.
“Sip. Kita harus
mengedepankan rasional dalam memilih sahabat. Seimbang kuncinya. Kita juga perlu
menggunakan perangkat pikiran kita untuk menilai apakah ukhuwah ini mengarahkan pada jalan yang ‘lurus’ atau tidak.” Septhia
dengan bijak merangkum semua hikmah persoalan kemarin sambil mengacungkan
jempol.
“Dan disini,
kalianlah sahabat yang tepat untuk bisa membimbingku menjadi muslimah yang lebih baik lagi. Janji
yah, mulai sekarang persahabatan kita gak hanya diisi dengan senang-senang, foto-foto,
jalan-jalan gak jelas, perayaan ulang tahun yang buang-buang uang. Tapi, kita
harus buat persahabatan ini produktif, bisa menghasilkan karya dan pahala untuk
dibawa sebagai bekal ke kampung akhirat, Surga.” Aku menutup pertemuan itu
dengan senyum simpul. Ada harapan besar yang terpancar dari kedua bola
mataku.
“Julia, Augia, Aku mau kita berjanji pada diri
kita sendiri. Semester 4 ini kita harus buktikan, kita mampu jadi muslimah terbaik. Kita pacu diri kita
agar senantiasa ber-fastabikhul khoirot.
Ya, kita gak boleh lelah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Okey!” Septhia sangat
semangat memotivasiku dan Augia, kepalan tangannya begitu kuat.
******************************
Di penghujung
semester, janji itu terbukti. Komitmen awal membuahkan hasil setelah masa-masa
sulit kita lewati. Kini, “Bintang Kecil’ mulai tumbuh dewasa, mandiri dan luar
biasa. Sungguh, ini di luar prediksi, kami semua menerima KHS yang sangat
memuaskan. Aku bisa menjadi juara 3 paralel di jurusanku, Augia mendapat
kategori mahasiswa dengan progress terbaik
dan Septhia unggul di mata kuliah yang dia minati.
Keberhasilan
itu membuat kami semakin taqwa, mensyukuri segala nikmat-Nya. Persahabatan kita
semakin erat. Semoga ikatan ini bisa mengantarkan kita ke Jannah-Nya yang
kekal. Aamiin...
******************************
Quote & Motivation:
Tak selamanya rasa nyaman membuat
persahabatan mampu bertahan. Tapi, sebuah persahabatan bisa kekal ketika ada
tujuan yang jelas dan komitmen yang kuat. Kunci agar kita mampu menyelesaikan
masalah adalah ketika kerja pikiran dan perasaan bisa seimbang.
Perpisahan di dunia tidak perlu
untuk disesali. Karena perpisahan sesungguhnya adalah ketika satu sahabat kita
di neraka dan kita di surga. Maka, teruslah berlomba-lomba dalam kebaikan
bersama sahabat kita. Agar kita bisa bersama kembali di Surga-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar